Thursday, 12 November 2015

Posted by ihsan On 22:50
Melengkapi artikel sebelumnya tentang Bidang Diskontinu Pada Batuan (Bidang Lemah) , karena menurut saya masih banyak yang harus dibahas tentang bidang diskontinu pada batuan.

Diskontinuitas dalam mekanika batuan, merupakan istilah umum yang digunakan sebagai istilah untuk batuan yang mengalami kerusakan (Giani, 1992). Bates (1987) istilah diskontinuitas secara umum dapat berbentuk diskontinuitas stratigrafi, seismik dan struktur geologi. Hudson dan Harrison (1997) satu dari banyaknya aspek fundamental kehadiran diskontinuitas adalah nilai rata-rata dan distribusi spasi antara diskontinuitas, indeks asosiasi frekuensi diskontinuitas dan Rock Quality Designation (RQD).

Hoek (2006) penerapan analisis mekanika batuan membutuhkan model dan data geologi berdasarkan definisi tipe-tipe batuan, struktur diskontinuitas dan sifat material. Wyllie dan Mah (2004) pengumpulan data diskontinuitas melalui investigasi geologi dengan melakukan pengkategorian diskontinuitas, termasuk proses terbentuknya. Wyllie dan Mah (2004) parameter-parameter yang perlu dicatat dalam investigasi geologi diskontinuitas seperti tipe batuannya, tipe diskontinuitas, skala, orientasi, spasi, persistence, kekasaran, kekuatan (wall strength), aperture, pengisi, seepage, jumlah set kekar, bentuk dan ukuran blok, serta tingkat pelapukan tersaji pada gambar 2.2. Palmstrom (1995) secara umum berkaitan dengan investigasi geologi dari semua hal yang berkaitan dengan mekanika batuan, rekayasa batuan dan desain adalah kualitas geo-data yang menjadi dasar perhitungan dan estimasi yang dibuat.




a. Tipe Diskontinuitas
Tipe diskontinuitas mulai dari kekar tarik yang terbatas panjangnya, sampai patahan dengan beberapa meter ketebalan lempung, gauge, dan panjang dalam kilometer (Wyllie dan Mah, 2004), dan menurut Hoek (2006) semua massa batuan mengandung diskontinuitas. Berbagai tipe diskontinuitas menurut Bieniawski (1989) dan Hoek (2006) seperti patahan, bidang perlapisan, foliasi, kekar, belahan dan schistositas. Lebih lanjut Giani (1992) menggolongkan bidang perlapisan, belahan dan schitositas sebagai contoh kerusakan kemas (fabric defact), sedangkan lipatan, patahan dan kekar sebagai kerusakan struktural (structural defact).

b. Skala Diskontinuitas
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat klasifikasi diskontinuitas berdasarkan pada skalanya. Demikian juga Wyllie dan Mah (2004) serta Hoek (2006) membuat ilustrasi skematik transisi skala berdasarkan peningkatan ukuran percontoh, mulai dari batuan padu sebagai skala terkecil sampai sebagai massa batuan yang terkekarkan kuat pada skala terbesar. Hoek (2006) analisis sifat mekanika batuan dilakukan pada setiap skala memiliki formulasi tertentu yang tepat untuk menganalisa permasalahan diskontinuitas. West (2010) sifat batuan atau sifat material diukur melalui percontoh kecil di laboratorium, sedangkan sifat massa batuan ditentukan dari keseluruhan sifat volume yang besar melalui pengukuran di lapangan.
 
Duncan dan Goodman (1968) dalam Giani (1992) membuat ilustrasi yang cukup detail dalam pengklasifikasian berbagai karakteristik diskontinuitas berdasarkan skala observasinya, baik jenis, spasi dan genesa diskontinuitas pada tabel diatas. Diskontinuitas terkecil berupa retakan mikro dan makro diamati melalui percontoh laboratorium. Adapun observasi diskontinuitas berupa bidang perlapisan, kekar, dike, zona hancuran, zona rekahan dan patahan termasuk patahan utama dilakukan melalui observasi secara in situ di lapangan.
 
c. Orientasi Diskontinuitas
Mekanisme pada formasi batuan menyebabkan diskontinuitas tidak terbentuk seluruhnya berorientasi acak (Hudson dan Harrison, 1997). Orientasi merefleksikan siknifikansi variasi set diskontinuitas pada massa batuan (Bieniawski, 1989). Bidang diskontinuitas memiliki strike dan dip, Giani (1992) menyatakan strike sebagai azimuth, yang diukur searah jarum jam (Wyllie dan Mah, 2004) antara sudut utara dan irisan bidang diskontinuitas terhadap bidang referensi horizontal. Sedangkan dip menurut Hudson dan Harrison (1997) merupakan sudut tercuram diskontinuitas terhadap horizontal.

Giani (1992) analisis orientasi diskontinuitas dapat dilakukan melalui proyeksi sperikal, yaitu metode yang menggunakan analisis hubungan tiga dimensi antara bidang dan garis pada digram dua dimensi. Kelemahan proyeksi ini adalah kemudahan bergerak dipermukaan, tetapi tidak mampu diputar. Goodman (1989) dan Wyllie dan Mah (2004) diskontinuitas bisa juga dianalisis menggunkan metode proyeksi stereografi (gambar 2.3), termasuk analisis kinematikanya (Goodman, 1989 dan Wyllie dan Mah, 2004).

d. Spasi Diskontinuitas
Bieniawski (1989) dan Giani (1992), spasi merupakan jarak antara diskontinuitas terdekat yang diukur secara tegak lurus. Diskontinuitas memiliki frekuensi kemunculan, frekuensi diskontinuitas menunjukkan jumlah jarak setiap unit berbanding terbalik terhadap spasi. Wyllie dan Mah (2004) spasi dipetakan dari permukaan batuan dan core bor, dan spasi sebenarnya dihitung dari spasi semu untuk diskontinuitas yang miring terhadap permukaan (Gambar 2.4). Pengukuran spasi set kekar memberikan ukuran dan bentuk blok. Hasilnya berupa model stabilitas dan kekuatan massa batuan (Wyllie dan Mah, 2004).



e. Persistence
Menurut Wyllie dan Mah (2004) persistence merupakan pengukuran panjang diskontinuitas atau luas diskontinuitas. Parameter ini menetapkan ukuran blok dan panjang potensi permukaan gelincir. Giani (1992) persistence secara kasar dapat dikuantifikasi melalui observasi panjang diskontinuitas pada permukaan batuan. Pahl (1981) dalam Wyllie dan Mah (2004) membuat perhitungan panjang diskontinuitas, dengan asumsi panjang merupakan distribusi.
 


f. Kekasaran (Roughness)
Pada analisis orientasi dan persistence, bidang diskontinuitas dianggap sebagai bidang planar, tetapi permukaannya bisa saja kasar (Hudson dan Harrison, 1997). Giani (1992) parameter kekasaran menunjukkan indeks tidak rata dan gelombang pada diskontinuitas batuan. Diskontinuitas bergelombang dicirikan oleh skala indulasi yang besar, sedangkan diskontinuitas tidak rata ditandai oleh skala kekasaran kecil. Selain itu menurut Wyllie dan Mah (2004) secara umum bentuk permukaan diskontinuitas memiliki permukaan yang kasar, jika berbentuk indulasi akan memiliki permukaan halus dan jika planar maka bidang permukaannya slickensides.
 
Giani (1992) profil tingkat kekasaran diskontinuitas dapat diobservasi melalui sepanjang sumbu, yang diestimasikan sebagai arah potensi pergeseran diskontinuitasnya. Metode pengukurannya dapat dilakukan melalui berbagai skala, dari skala singkapan yang dilakukan di lapangan, juga melalui skala terkecil di laboratorium, seperti ilustrasi pada gambar 2.6. Hudson dan Harrison (1997) pengukuran kekasaran dapat pula dilakukan dengan mereferensi pada chart standard dan formulasi matematik, terpapar pada gambar 2.7. Wyllie dan Mah (2004) pada tahap investigasi pendahuluan biasanya dilakukan penilaian visual kekasaran, ditetapkan sebagai Joint Rough Coefficient (JRC) dari Barton (1973).  Giani (1992) menyebutkan bahwa nilai kekasaran permukaan diskontinuitas berguna untuk mengetahui kuat geser, khususnya pada dinding diskontinuitas yang belum mengalami dislokasi dan belum terisi.
 
 
  

g. Kekuatan Dinding (Wall Strength)
Giani (1992) mendefinisikan kekuatan dinding sebagai ekuivalen dengan kuat kompresi pada dinding batuan berdekatan dari suatu diskontinuitas. Nilainya merupakan komponen penting dari kuat geser dan deformability, khususnya jika kekar atau diskontinuitas dapat menunjukkan hubungan dari batu ke batu kontak atau batu yang berkekar tak terisi. Kekuatan dinding bisa lebih rendah daripada kekuatan batuan yang disebabkan oleh pelapukan atau alterasi. Wyllie dan Mah (2004) kekuatan dinding diskontinuitas mempengaruhi kuat geser pada permukaan kasar. Deskripsi semi kuantitatif dan kuantitatif kekuatan dinding diperoleh menggunkan palu geologi, pisau dan Schmidt Hammer (Giani, 1992). 



Wyllie dan Mah (2004) mengklasifikasikan kekuatan batuan khususnya menjadi tujuh tingkatan (lihat tabel 2.2). Pembagiannya berdasarkan nilai kekuatan uniaxial compressive strength (UCS), mulai dari batuan kuat sekali untuk nilai UCS lebih besar dari 250 Mpa, sampai batuan sangat lemah dengan nilai UCS berkisar antara 0,25-1,0 Mpa. Adapun metode pengukuran kekuatan kompresi bisa melalui point load test untuk cere bor atau bongkahan percontoh, dan menggunakan Schmidt Hammer pada permukaan diskontinuitas batuan. Giani (1992) uji menggunakan Schmidt Hammer dilakukan untuk mengestimasikan joint wall Compressive strength (JCS), serta berhubungan terhadap densitas batuan yang diujikan.

h. Rongga (Aperature)
Wyllie dan Mah (2004) menjelaskan besarnya rongga diskontinuitas diperoleh dari pengukuran jarak tegak lurus antara dinding batuan berdekatan dari bidang diskontinuitas yang di dalamnya terisi udara atau air. Dimana kehadiran rongga pada diskontinuitas akan mempengaruhi nilai kuat massa batuan dan besarnya hidraulic conductivity air tanah, sehingga berguna untuk memprediksi perilaku massa batuan.

Giani (1992) rongga dibedakan berdasarkan besarnya bukaan diskontinuitas, seperti pada Gambar 2.9. Secara umum rongga-rongga massa batuan di bawah permukaan adalah kecil, mungkin kurang dari setengah milimeter. Menurut Wyllie dan Mah (2004) rongga dengan bukaan (> 1 m) sebagai kategori yang besar dan jika (< 0,1 mm) dikategorikan sangat rapat. Secara lengkap pembangian kategori rongga dilakukan oleh Barton (1973) lihat tabel 2.3. Giani (1992) asal mula terbentuknya rongga dapat merupakan hasil shear displacement diskontinuitas dengan kekasaran dan gelombangan cukup besar dari bukaan tarikan, pencucian (outwash), pelarutan dan dari tarikan diskontinuitas vertikal oleh erosi lembah atau proses glasiasi.

 
i. Pengisi (Infilling)
Wyllie dan Mah (2004) mendefinisikan pengisi sebagai material yang memisahkan dinding batuan yang berdekatan pada suatu diskontinuitas. Giani (1992) pengisi ini biasanya lebih lemah kekuatannya dari batuan induk. Tipe pengisi bisa berupa pasir, lanau, lempung, breksi, gauge dan mylonit. Adapun untuk mineral pengisi seperti kalsit, kuarsa dan pirit memiliki kekuatan yang tinggi. Sehingga secara mekanika material pengisi ini mempengaruhi kuat geser diskontinuitas. Lebih lanjut menurut Wyllie dan Mah (2004) material pengisi dapat dipergunakan untuk memprediksi perilaku diskontinuitas batuan.

Berdasarkan pola pengisi, akan dijumpai dua tipe utama pengisi pada diskontinuitas, yang sekaligus dapat dipergunakan untuk memprediksi arah bukaan rekahan dan kecepatannya terbentuk dapat dilihat pada gambar 2.10 (Pluijm dan Marshak, 2004). Pada pekerjaan survey geologi terhadap singkapan batuan menurut Giani (1992) serta Wyllie dan Mah (2004) berbagai sifat fisik diskontinuitas berikut harus dicatat seperti : meneralogi, tingkatan dan ukuran partikel, kandungan air dan permeabilitas, perpindahan geser sebelumnya (offset), kekasaran dinding, lebar, rekahan dan hancuran dinding batuan dan rasio over-cosolidation.


Sehingga berdasarkan parameter deskripsi tersebut di atas dipergunakan untuk memenuhi berbagai hal berikut ini (Giani, 1992) :
  1. Geometri : Lebar, kekasaran dinding, sketsa lapangan.
  2. Tipe pengisi : Mineralogi, ukuran partikel, tingkat pelapukan, parameter indeks batuan dan tanah, potensi pengembangan.
  3. Kekuatan pengisi : Indeks manual kekuatan dan kekerasan batuan dan tanah ditentukan oleh penetrasi, penghancuran, penggoresan material menggunakan tangan, pisau atau palu geologi, kuat geser, rasio overconsolidation untuk dinding yang bergeser atau yang masih tetap.
  4. Seepage : Estimasi kandungan air dan permeabilitas menggunakan uji cepat secara in situ.
j. Seepage
Seepage berhubungan dengan aliran air dan uap bebas pada diskontinuitas atau massa batuan. Umur diskontinuitas dan asal mula kejadiannya adalah penting untuk menilai transmisivity air (Giani, 1992), karena mampu menyediakan informasi keadaan bukaan atau celah tempat mengalirnya air melalui struktur sekunder.
 
Kategori seepage bervariasi dari kering sampai mengalir kontinyu, sehingga observasi menunjukkan posisi muka air tanah dan tinggi-rendah konduktifitas batuan (Wyllie dan Mah, 2004). Iklim turut mempengaruhi keterdapatan seepage, dan besarnya infiltrasi air tanah (Wyllie dan Mah, 2004). Infiltrasi air tanah dinilai berdasarkan faktor-faktor penting yang mempengaruhinya seperti meteorologi, morfologi dan geologi hidrogeologi (Celico, 1986 dalam Giani, 1992).

k. Jumlah Set Diskontinuitas
Giani (1992) parameter set diskontinuitas mengekspresikan jumlah set-set yang membentuk sistem diskontinuitas dan saling memotong. Massa batuan memiliki sejumlah set diskontinuitas yang saling memotong satu sama lain. Hudson dan Harrison (1997) secara konseptual suatu set terdiri dari diskontinuitas paralel atau sub-paralel. Sehingga geometri massa batuan dikarakteristiki oleh jumlah set diskontinuitas. Wyllie dan Mah (2004) jumlah set diskontinuitas yang saling berpotongan satu sama lain akan menginformasikan luasan massa batuan yang terdeformasi tanpa menghancurkan batuan padu. Contohnya peningkatan jumlah set maka ukuran blok akan berkurang, besarnya kesempatan bongkahan berotasi, perubahan dan hancuran akibat kerja beban. Jumlah set umumnya fungsi ukuran wilayah yang dipetakan pemetaannya harus membedakan antara diskontinuitas sistematik sebagai bagian anggota set dan diskontinuitas acak, dimana orientasinya tidak terprediksikan.

l. Bentuk dan Ukuran Blok
Giani (1992) massa batuan terkekarkan dapat menjadi sistem blok-blok yang dipisahkan bidang diskontinuitas sebagai sistem atau diskontinuitas tunggal. Ukuran blok ditentukan oleh spasi diskoninuitas, jumlah set dan panjang diskontinuitas. Hudson dan Harrison (1997) menganologikan ukuran blok dan distribusinya sebagai distribusi in situ ukuran partikel. Ukuran blok mengindikasikan perilaku massa batuan, karena mampu mengestimasi performa massa batuan pada kondisi tegasan. Adapun jumlah set dan orientasi atau pola kekar dapat menentukan bentuk blok yang dihasilkan, sehingga dapat berupa kubus, rombohedral, tetrahedron atau lembaran (Giani, 1992) atau berbentuk blocky, shattered dan kolumnar (Wyllie dan Mah, 2004 ).

m. Pelapukan (Weathering)
Pelapukan batuan adalah proses yang menyebabkan alterasi batuan, disebabkan oleh air, karbon dioksida dan oksigen (Giani, 1992), atau proses eksternal menyebabkan hilang dan berubahnya sifat asal mula menjadi kondisi yang baru. Prosesnya melibatkan agen-agen fisika, kimia, biologi (Bates, 1987), atau melalui proses mekanika dan dipengaruhi oleh keadaan iklim (Giani, 1992). Wyllie dan Mah (2004) pelapukan berbentuk desintegrasi dan dekomposisi. Desintegrasi adalah hasil perubahan lingkungan, seperti kelembaban, pembekuan dan pemanasan. Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan oleh agenagen kimia seperti proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi seperti perubahan feldspar menjadi kaolinit, dan karbonisasi seperti pelarutan batugamping.

Giani (1992) dampak pelapukan tidak hanya terbatas di permukaan saja tetapi lebih dalam, umumnya pada kedalaman yang dangkal, tergantung kehadiran saluran yang memungkinkan aliran air dan kontak dengan atmosfer. Wyllie dan Mah (2004) berkurangnya kekuatan batuan oleh pelapukan akan mengurangi kuat geser diskontinuitas. Sehingga pelapukan juga akan mengurangi kuat geser massa batuan diakibatkan pengurangan kekuatan batuan padu. pelapukan menghasilkan pengurangan kompetensi batuan dari sudut pandang engineering atau mekanika batuan (Giani, 1992).

Wednesday, 11 November 2015

Posted by ihsan On 23:27
Beberapa ahli telah melakukan penelitian untuk mengetahui korelasi antara dua sistem klasifikasi RMR dan Q system. Korelasi ini dikembangkan di lokasi yang bermacam-macam dengan karakteristik batuan yang berbeda-beda. Oleh karena itu hasil yang didapat juga berbeda-beda.

Pada tabel dibawah terdapat beberapa korelasi antara RMR dan Q serta ahli yang mengusulkannya dan daerah tempat korelasi tersebut diturunkan.


Perbandingan nilai Q system dengan klasifikasi RMR dapat diinterpretasikan sebagai grafik seperti ditunjukkan pada gambar dibawah.


Posted by ihsan On 23:22
Rock Mass Quality (Q) System atau disebut juga sebagai Tunneling Quality Index pertama kali diusulkan oleh Barton, Lien dan Lunde pada tahun 1974 di Norwegian Geotechnical Institute (NGI) sehingga disebut juga NGI Classification System. Q-System sebagai salah satu dari klasifikasi massa batuan dibuat berdasarkan studi kasus dilebih dari 200 kasus tunneling dan caverns.

Q-system merupakan fungsi dari enam parameter yang dinyatakan dengan persamaan berikut:

Dalam menjelaskan keenam parameter yang dipakai untuk menghitung Q, Barton (1974) membagi enam parameter tersebut menjadi tiga bagian:
  • RQD/Jn merepresentasikan struktur dari massa batuan, menunjukkan ukuran blok batuan.
  • Jr/Ja menunjukkan kekasaran (roughness) dan karakteristik geser dari permukaan bidang diskontinu atau filling material dari bidang diskontinu tersebut. Suatu bidang diskontinu dengan permukaan yang kasar dan tidak mengalami alterasi dan mengalami kontak dengan permukaan bidang lainnya, akan mempunyai kuat geser yang tinggi dan menguntungkan untuk kestabilan lubang bukaan. Adanya lapisan mineral clay pada permukaan kontak antara kedua bidang diskontinu tersebut, akan mengurangi kuat geser secara signifikan. Selanjutnya kontak antar permukaan bidang diskontinu yang mengalami pergeseran juga akan mempertinggi potensi failure pada lubang bukaan. Dengan kata lain Jr/Ja menunjukkan shear strength atau kuat geser antar blok batuan.
  • Jw/SRF terdiri dari dua parameter stress. Parameter Jw adalah ukuran tekanan air yang dapat mempengaruhi kuat geser dari bidang diskontinu. Sedangkan parameter SRF dapat dianggap sebagai parameter total stress yang dipengaruhi oleh letak dari lubang bukaan yang dapat mereduksi kekuatan massa batuan. Secara empiris Jw/SRF mewakili active stress yang dialami batuan.
Menurut Barton, dkk parameter Jn, Jr dan Ja memiliki peranan yang lebih penting dibandingkan pengaruh orientasi bidang diskontinu. Oleh karena itu dalam Q-system tidak terdapat parameter adjustment terhadap orientasi bidang diskontinu.

Nilai Q yang didapat dihubungkan dengan kebutuhan penyanggan terowongan dengan menetapkan dimensi ekivalen (equivalent dimension) dari galian. Dimensi ekivalen merupakan fungsi dari ukuran dan kegunaan dari galian, didapat dengan membagi span, diameter atau tinggi dinding galian dengan harga yang disebut Excavation Support Ratio (ESR).

Hutchinson dan Diederichs (1996) memperkenalkan grafik hubungan antara nilai Q dan span maksimum untuk berbagai macam nilai ESR;

Barton et al. (1980) memberikan informasi tambahan terhadap panjang rockbolt, span maksimum, dan tekanan penyangga atap untuk melengkapi rekomendasi penyangga pada publikasi yang diterbitkan tahun 1974.



Rekomendasi penyangga ditentukan melalui grafik yang di berikan oleh Grimstad dan Barton (1993) seperti yang ditunjukkan oleh gambar dibawah;

Friday, 6 November 2015

Posted by ihsan On 22:32

Slope mass rating (SMR) merupakan sistem klasifikasi massa batuan yang dirancang khusus untuk lereng. Metode ini dikemukakan oleh Romana (1985). Sistem ini mendasarkan pada hasil RMR dengan memberikan beberapa penyelarasan. Parameter yang dibutuhkan untuk klasifikasi slope mass rating (SMR) adalah; Arah kemiringan (dip direction) dari permukaan lereng (αs), Arah kemiringan (dip direction) diskontinuitas (αj), sudut kemiringan diskontinuitas (βj).

Romana (1985) mengembangkan suatu sistem klasifikasi slope mass rating (SMR) yang memungkinkan sistem RMR diaplikasikan untuk menganalisis kemantapan lereng. SMR menyertakan bobot parameter pengaruh orientasi kekar terhadap metode penggalian lereng yang diterapkan. Hubungan antara slope mass rating (SMR) dengan rock mass rating (RMR) ditunjukkan pada persamaan dibawah ini.
Untuk Longsoran Bidang dan Longsoran Baji;
  • F1 = αj - αs
  • F2 =  βj
  • F3 = βj - βs

Dengan demikian persamaan SMR untuk longsoran bidang dan longsoran baji menjadi:

 
Untuk Longsoran Guling atau Topling;

  • F1 = αj - αs -180
  • F2 =  βj
  • F3 = βj - βs
Dengan demikian persamaan SMR untuk longsoran topling menjadi:

Untuk nilai F4 dapat dilihat pada gambar dibawah ini
Sebagai keterangan;
αj = dip dir. kekar       βs = dip lereng
βj = dip kekar              αs = dip dir. lereng
P = longsoran bidang T = longsoran guling

Bobot kriteria faktor koreksi yang dihitung berdasarkan paralelisme antara orientasi lereng dengan orientasi kekar, dapat dilihat pada tabel berikut ini;


Setelah niai SMR diperoleh, maka nilai tersebut akan berada dalam salah satu kelas dengan nilai bobot tertentu. Tabel 3 mendeskripsikan setiap kelas pada sistem klasifikasi SMR.


Jika ada yang ingin di diskusikan silahkan koment :)
Posted by ihsan On 21:48
Pada dasarnya seluruh metoda analisis kemantapan lereng memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memperoleh lereng yang optimal maksudnya adalah dengan kondisi aman tetapi tetap ekonomis untuk direalisasikan. Secara umum tujuannya sebagai berikut: 
  1.  Menentukan kondisi kestabilan lereng  
  2. Memperkirakan bentuk keruntuhan atau longsoran yang mungkin terjadi.  
  3. Memprediksi tingkat kerawanan lereng terhadap resiko longsor.   
  4. Merancang suatu lereng yang optimal dan memenuhi kriteria keamanan dan kelayakan yang ekonomis. 
Maka penyelidikan lapangan dan laboratorium harus dilakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan data-data hasil pengujian laboratorium yang nantinya akan sangat berpengaruh pada kekuatan massa batuan sebagai parameter input dalam perhitungan nilai faktor keamanan, metode perhitungan kestabilan lereng ini dapat dikatakan metode untuk mengetahui nilai faktor keamanan yang paling sederhana, ada banyak metode yang dapat digunakan seperti Bishop, Fellenius, Morgenstern Price, Janbu dan masih banyak metode yang lainnya yang nanti akan dibahas pada bagian lain.. 

Hoek sendiri memberikan beberapa kriteria untuk lereng yang stabil, saya tampilkan pada gambar dibawah ini;


Parameter ini didapat dari hasil pengujian fisik batuan dan pengujian mekanik batuan seperti nilai kuat tekan batuan (UCS), kohesi, sudut geser dalam, densitas material, dan banyak lagi yang nanti akan kita bahas pada kesempatan lain. 

Dalam penyelidikan tersebut juga harus dilakukan investigasi dan pemantauan lapangan secara rutin untuk mengevaluasi potensi-potensi bahaya pada lereng. Identifikasi kondisi air tanah pada daerah pengamatan dilakukan terhadap kondisi rembesan air yang dijumpai yaitu: 
  • kering (completely dry),
  •  lembab (damp), 
  • basah (wet), 
  • menetes (dripping) 
  • dan mengalir (flowing). 

Pada penggambaran pola air tanah metode yang dikemukakan oleh Hoek and Bray dimana metode ini menggambarkan lima buah pola aliran tanah dari kondisi kering sampai kondisi jenuh, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Adapun langkah-langkah dalam melakukan analisa lereng dengan metoda Hoek dan Bray adalah sebagai berikut:
  1. Tentukan kondisi air tanah yang akan terjadi pada lereng dan pilih chart yang paling mendekati kondisi tersebut.
  2. Hitung nilai rasio tak berdimensi c/(gH.tanf) dan temukan nilai ini pada skala sirkular bagian luar. 
  3. Ikuti garis radial dari nilai pada langkah 2 sampai perpotongannya dengan kurva kemiringan lereng. 
  4. Temukan harga tanf/F atau c/gHF yang sesuai dan hitung Faktor Keamanan.


Berikut chart Hoek and Bray berdasarkan dari kondisi air tanahnya, seperti yang dijelaskan pada tabel sebelumnya.




Sebagai contoh pada analisis fk lereng, dianalisis dengan kondisi lereng natural, dengan data masukan untuk metoda grafis Hoek and Bray sebagai berikut:








  
Berdasarkan analisis menggunakan metoda grafis Hoek and Bray diperoleh nilai faktor keamanan lereng dengan kondisi lereng natural, sebesar pada nilai kritisnya 1,047 FK < 1,25 artinya lereng berada pada kondisi tidak aman.



Jika masih ada bagian yang tidak jelas atau sekedar untuk diskusi silahkan komen :)