Friday 20 December 2013

Posted by ihsan On 07:29
The International Handbook of Coal Petrography (1963) menyebutkan bahwa batubara adalah batuan sedimen yang mudah terbakar, terbentuk dari sisa tanaman dalam variasi tingkat pengawetan, diikat proses kompaksi dan terkubur dalam cekungan-cekungan pada kedalaman yang bervariasi. 

Sedangkan Prijono (Dalam Sunarijanto, dkk, 2008) berpendapat bahwa batubara adalah bahan bakar hidrokarbon tertambat yang terbentuk dari sisa tumbuh-tumbuhan yang terendapkan dalam lingkungan bebas oksigen serta terkena pengaruh temperatur dan tekanan yang berlangsung sangat lama. Sedang menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan bahwa ”batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan.

Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba yang mengendap di dalam tanah selama jutaan tahun. Endapan tersebut telah mengalami berbagai perubahan bentuk/komposisi sebagai akibat dari dari adanya proses fisika dan kimia yang berlangsung selama waktu pengendapannya. Oleh karena itu, batubara termasuk dalam katagori bahan bakar fosil.

Batubara merupakan salah satu sumber energi fosil alternatif yang cadangannya cukup besar di dunia. Bagi Indonesia, yang sumber energi minyak buminya sudah semakin menipis, pengusahaan penggalian batubara sudah merupakan suatu keniscayaan. Hampir setiap pulau besar di Indonesia memiliki cadangan batubara, walau dalam kuantitas dan kualitas yang berbeda.

Terdapat dua model formasi pembentuk batubara (coal bearing formation), yakni model formasi insitu dan model formasi endapan material tertransportasi (teori drift). Berikut akan dijelaskan masing-masing model formasi pembentuk batubara tersebut.

1). Model Formasi Insitu

Menurut teori ini, batubara terbentuk pada lokasi dimana pohon-pohon atau tumbuhan kuno pembentukya tumbuh. Lingkungan tempat tumbuhnya pohon-pohon kayu pembentuk batubara itu adalah pada daerah rawa atau hutan basah. Kejadian pembentukannya diawali dengan tumbangnya pohon-pohon kuno tersebut, disebabkan oleh berbagai faktor, seperti angin (badai), dan peristiwa alam lainnya. Pohon-pohon yang tumbang tersebut langsung tenggelam ke dasar rawa. Air hujan yang masuk ke rawa dengan membawa tanah atau batuan yang tererosi pada daerah sekitar rawa akan menjadikan pohon-pohon tersebut tetap tenggelam dan tertimbun.

Demikianlah seterusnya, bahwa semakin lama semakin teballah tanah penutup pohon-pohonan tersebut. Dalam hal ini pohon-pohon tersebut tidak menjadi busuk atau tidak berubah menjadi humus, tetapi sebaliknya mengalami pengawetan alami. Dengan adanya rentang waktu yang lama, puluhan atau bahkan ratusan juta tahun, ditambah dengan pengaruh tekanan dan panas, pohon-pohonan kuno tersebut mengalami perubahan secara bertahap, yakni mulai dari fase penggambutan sampai ke fase pembatubaraan.

2) Model Formasi Transportasi Material (Teori Drift)

Berdasarkan teori drift ini, batubara terbentuk dari timbunan pohon-pohon kuno atau sisa-sisa tumbuhan yang tertransportasikan oleh air dari tempat tumbuhnya. Dengan kata lain pohon-pohon pembentuk batubara itu tumbang pada lokasi tumbuhnya dan dihanyutkan oleh air sampai berkumpul pada suatu cekungan dan selanjutnya mengalami proses pembenaman ke dasar cekungan, lalu ditimbun oleh tanah yang terbawa oleh air dari lokasi sekitar cekungan.
Seterusnya dengan perjalanan waktu yang panjang dan dipengaruhi oleh tekanan dan panas, maka terjadi perubahan terhadap pohon-pohon atau sisa tumbuhan itu mulai dari fase penggambutan sampai pada fase pembatubaraan.

Terdapat perbedaan tipe endapan batubara dari kedua formasi pembentukan tersebut. Batubara insitu biasanya lebih tebal, endapannya menerus, terdiri dari sedikit lapisan, dan relatif tidak memiliki pengotor. Sedangkan batubara yang terbentuk atau berasal dari transportasi material (berdasarkan teori drift) ini biasanya terjadi pada delta-delta kuno dengan ciri-ciri: lapisannya tipis, endapannya terputus-putus (splitting), banyak lapisan (multiple seam), banyak pengotor, dan kandungan abunya biasanya tinggi. 

Dari kedua teori tentang formasi pembentukan batubara tersebut di atas dapat diketahui bahwa kondisi lingkungan geologi yang dipersyaratkan untuk dapat terjadinya batubara adalah: berbentuk cekungan berawa, berdekatan dengan laut atau pada daerah yang mengalami penurunan (subsidence), karena hanya pada lingkungan seperti itulah memungkinkan akumulasi tumbuhan kuno yang tumbang itu dapat mengalami penenggelaman dan penimbunan oleh sedimentasi. Tanpa adanya penenggelaman dan penimbunan oleh sedimentasi, maka proses perubahan dari kayu menjadi gambut dan seterusnya menjadi batubara tidak akan terjadi, malahan kayu itu akan menjadi lapuk dan berubah menjadi humus.

Terdapat dua tahapan proses pembentukan batubara, yakni proses penggambutan (peatification) dan proses pembatubaraan (coalification). Pada proses penggambutan terjadi perubahan yang disebabkan oleh makhluk hidup, atau disebut dengan proses biokimia, sedangkan pada proses pembatubaraan prosesnya adalah bersifat geokimia.

Pada proses biokimia, sisa-sisa tumbuhan atau pohon-pohonan kuno yang tumbang itu terakumulasi dan tersimpan dalam lingkungan bebas oksigen (anaerobik) di daerah rawa dengan sistem drainase (drainage system) yang jelek, dimana material tersebut selalu terendam beberapa inchi di bawah muka air rawa. Pada proses ini material tumbuhan akan mengalami pembusukan, tetapi tidak terlapukan. Material yang terbusukkan akan melepaskan unsur-unsur hidrogen (H), Nitrogen (N), Oksigen (O), dan Karbon (C) dalam bentuk senyawa-senyawa: CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya bakteri-bakteri anaerobik serta fungi merubah material tadi menjadi gambut (peat). (Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).

Sedangkan pada proses pembatubaraan (coalification), terjadi proses diagenesis dari komponen-komponen organik yang terdapat pada gambut. Peristiwa diagenesis ini menyebabkan naiknya temperatur dalam gambut itu. Dengan semakin tebalnya timbunan tanah yang terbawa air, yang menimbun material gambut tersebut, terjadi pula peningkatan tekanan. Kombinasi dari adanya proses biokimia, proses kimia, dan proses fisika, yakni berupa tekanan oleh material penutup gambut itu, dalam jangka waktu geologi yang panjang, gambut akan berubah menjadi batubara. Akibat dari proses ini terjadi peningkatan persentase kandungan Karbon (C), sedangkan kandungan Hidrogen (H) dan Oksigen (O) akan menjadi menurun, sehingga dihasilkan batubara dalam berbagai tingkat mutu (Susilawati, 1992 dalam Sunarijanto, 2008: 5).


Secara berurutan, proses yang dilalui oleh endapan sisa-sisa tumbuhan sampai menjadi batubara yang tertinggi kualitasnya adalah sebagai berikut:
  1. Sisa-sisa tumbuhan mengalami proses biokimia berubah menjadi gambut (peat);
  2. Gambut mengalami proses diagenesis berubah menjadi batubara muda (lignite) atau disebut juga batubara coklat (brown coal);
  3. Batubara muda (lignite atau brown coal) menerima tekanan dari tanah yang menutupinya dan mengalami peningkatan suhu secara terus menerus dalam waktu jutaan tahun, akan berubah menjadi batubara subbituminus (sub-bituminous coal);
  4. Batubara subbituminus tetap mengalami peristiwa kimia dan fisika sebagai akibat dari semakin tingginya tekanan dan temperatur dan dalam waktu yang semakin panjang, berubah menjadi batubara bituminus (bitumninous coal);
  5. Batubara bitumninus ini juga mengalami proses kimia dan fisika, sehingga batubara itu semakin padat, kandungan karbon semakin tinggi, menyebabkan warna semakin hitam mengkilat. Dalam fase ini terbentuk antrasit (anthracite);
  6. Antrasit, juga mengalami peningkatan tekanan dan temperatur, berubah menjadi meta antrasit (meta anthrasite);
  7. Meta antrasit selanjutnya akan berubah menjadi grafit (graphite). Peristiwa perubahan atrasit menjadi grafit disebut dengan penggrafitan (graphitization).
Dalam semua tingkatan pembentukan batubara itu terdapat berbagai unsur yang sangat mempengaruhi peringkat mutu batubaranya dan sebagai dasar pembagian klas penggunaannya. Secara garis besarnya dalam batubara terdapat unsur-unsur:
  • Kandungan air total (total moisture), yakni jumlah kandungan air yang ada pada fisik batubara, yang terdiri dari air dalam batubara itu sendiri dan air yang terbawa waktu melakukan penambangan.
  • Kandungan air bawaan (inheren moisture), yakni air yang ada dalam batubara itu mulai saat awal pembentukannya. Kadar air itu pada dasarnya akan mempengaruhi nilai batubara, artinya semakin tinggi kandungan air, maka semakin rendahlah mutu batubara tersebut.
  • Kandungan zat terbang (volatile matter), adalah semua unsur yang akan menguap (terbang) waktu batubara itu mengalami pemanasan. Volatile matter yang tinggi akan menyebabkan mutu batubara jadi rendah, karena pada intinya volatile matter tidak memberikan nilai kalor. Batubara dengan volatile matter tinggi, yang tertumpuk pada stockpile, akan mudah mengalami swabakar, terutama pada udara lembab dan adanya unsur pemicu oksidasi di dalamnya, seperti pirit dan sebagainya.
  • Total sulphur (belerang), adalah salah satu unsur yang dapat menurunkan mutu batubara, karena unsur belerang yang banyak akan menyebabkan rendahnya nilai kalor dan dapat menyebabkan kerusakan pada dapur pembakaran, serta juga menyebabkan adanya gas beracun.
  • Kandungan abu (ash content), adalah sejumlah material yang didapat dari sisa pembakaran batubara. Semakin tinggi kadar abu batubara, maka semakin rendahlah mutu batubara tersebut. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, abu ini berasal dari material yang tidak dapat dioksidasi oleh oksgen.
  • Kandungan karbon tertambat (fixed carbon), adalah persentase karbon yang ada pada suatu satuan volume batubara. Semakin tinggi kadar karbon, maka semakin baguslah kualitas batubara tersebut, karena yang paling berguna dari batubara itu adalah karbon ini, karena karbonlah yang menghasilkan nilai kalori pada waktu dilakukan pembakaran batubara.
  • Nilai kalori (CV), adalah jumlah kalori yang dihasilkan per kg batubara yang dibakar. Semakin tinggi nilai kalorinya, semakin baguslah mutu batubaranya.






Thursday 28 November 2013

Posted by ihsan On 23:34
Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu klasifikasi massa batuan yang disebut Klasifikasi Geomekanika atau lebih dikenal dengan Rock Mass Rating (RMR). Setelah bertahun-tahun, klasifikasi massa batuan ini telah mengalami penyesuaian dikarenakan adanya penambahan data masukan sehingga Bieniawski membuat perubahan nilai rating pada parameter yang digunakan untuk penilaian klasifikasi massa batuan tersebut. Pada penelitian ini, klasifikasi massa batuan yang digunakan adalah klasifikasi massa batuan versi tahun 1989 (Bieniawski, 1989). 6 Parameter yang digunakan dalam klasifikasi massa batuan menggunakan Sistim RMR yaitu:

1. Kuat tekan uniaxial batuan utuh.




5. Kondisi air tanah.

6. Orientasi/arah bidang diskontinyu.


Pada penggunaan sistim klasifikasi ini, massa batuan dibagi kedalam daerah struktural yang memiliki kesamaan sifat berdasarkan 6 parameter di atas dan klasifikasi massa batuan untuk setiap daerah tersebut dibuat terpisah. Batas dari daerah struktur tersebut biasanya disesuaikan dengan kenampakan perubahan struktur geologi seperti patahan, perubahan kerapatan kekar, dan perubahan jenis batuan. RMR ini dapat digunakan untuk terowongan. lereng, dan pondasi.

Berikut tabel pembobotan nilai RMR,
Setelah semua parameter di masukkan ke dalam kelasnya masing masing, maka jumlahkan seluruh hasil dari pembobotan tersebut , lalu hasil tersebut masukkan ke tabel di bawah ini,

selanjutnya setelah di dapatkan nomor kelas dari batuan yang di ukur atau di hitung , maka kemudian masukkan ke dallam tabel terakhir,

maka dari serangkaian proses tersebut dapat diketahui berpa nilai stand up time , kohesi massa batuan , serta sudut geser dalam massa batuan terebut.
Posted by ihsan On 23:27
RQD dikembangkan pada tahun 1964 oleh Deere. Metode ini didasarkan pada penghitungan persentase inti terambil yang mempunyai panjang 10 cm atau lebih. Dalam hal ini, inti terambil yang lunak atau tidak keras tidak perlu dihitung walaupunmempunyai panjang lebih dari 10cm. Diameter inti optimal yaitu 47.5mm. Nilai RQD ini dapat pula dipakai untuk memperkirakan penyanggaan terowongan. Saan ini RQD sebagai parameter standar dalam pemerian inti pemboran dan merupakan salah satu parameter dalam penentuan klasifikasi massa batuan RMR dan Q-system.


RQD didefinisikan sebagai:



Berdasarkan nilai RQD massa batuan diklasifikasikan sebagai berikut :



Sunday 24 November 2013

Posted by ihsan On 02:07
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan,tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah atau batuan menjadi licin dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar lereng.

Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu dengan bidang horizontal. Lereng dapat terbentuk secara alami maupun buatan manusia. Lereng yang terbentuk secara alami misalnya: lereng bukit dan tebing sungai, sedangkan lereng buatan manusia antara lain: galian dan timbunan untuk membuat bendungan, tanggul dan kanal sungai serta dinding tambang terbuka (Arief, 2007). Adapun jenis-jenis longsor yang dikenal dalam tambang terbuka adalah:

a. Longsor bidang

Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi sepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa bidang kekar, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan batuan. Syarat-syarat terjadinya longsoran bidang :
  • Terdapat bidang lincir bebas (daylight) berarti kemiringan bidang lurus lebih kecil daripada kemiringan lereng
  • Arah bidang perlapisan (bidang lemah) sejajar atau mendekati dengan arah lereng (maksimum berbeda 200).
  • Kemiringan bidang luncur atau lebih besar daripada sudut geser dalam batuannya.
  • Terdapat bidang geser (tidak terdapat gaya penahan) pada kedua sisi longsoran.

b. Longsoran baji
Longsoran baji dapat terjadi pada suatu batuan jika lebih dari satu bidang lemah yang bebas dan saling berpotongan. Sudut perpotongan antara bidang lemah tersebut lebih besar dari sudut geser dalam batuannya. Bidang lemah ini dapat berupa bidang sesar, rekahan (joint) maupun bidang perlapisan. Cara longsoran baji dapat melalui satu atau beberapa bidang lemahnya maupun melalui garis perpotongan kedua bidang lemahnya. Longsoran baji dapat terjadi dengan syarat geometri sebagai berikut :
  • Permukaan bidang lemah A dan bidang lemah B rata, tetapi kemiringan bidang lemah B lebih besar daripada bidang lemah A.
  • Arah penunjaman garis potong harus lebih kecil daripada sudut kemiringan lereng.
  • Bentuk longsoran dibatasi oleh muka lereng, bagian atas lereng dan kedua bidang lemah.

c. Longsoran busur

Longsoran busur adalah yang paling umum terjadi di alam, terutama pada batuan yang lunak (tanah). Pada batuan yang keras longsoran busur hanya terjadi jika batuan tersebut sudah mengalami pelapukan dan mempunyai bidang-bidang lemah (rekahan) yang sangat rapat dan tidak dapat dikenali lagi kedudukannya. Pada longsoran bidang dan baji, kelongsoran dipengaruhi oleh struktur bidang perlapisan dan kekar yang membagi tubuh batuan kedalam massa diskontinuitas.

Pada tanah pola strukturnya tidak menentu dan bidang gelincir bebas mencari posisi yang paling kecil hambatannya. Longsoran busur akan terjadi jika partikel individu pada suatu tanah atau massa batuan sangat kecil dan tidak saling mengikat. Oleh karena itu batuan yang telah lapuk cenderung bersifat seperti tanah. Tanda pertama suatu longsoran busur biasanya berupa suatu rekahan tarik permukaan atas atau muka lereng, kadang-kadang disertai dengan menurunnya sebagian permukaan atas lereng yang berada disamping rekahan. Penurunan ini menandakan adanya gerakan lereng yang pada akhirnya akan terjadi kelongsoran lereng, hanya dapat dilakukan apabila belum terjadi gerakan lereng tersebut .


d. Longsoran guling
Longsoran guling terjadi pada batuan yang keras dan memiliki lereng terjal dengan bidang-bidang lemah yang tegak atau hampir tegak dan arahnya berlawanan dengan arah kemiringan lereng. Longsoran ini bisa berbentuk blok atau bertingkat. Kondisi untuk menggelincir atau meluncur ditentukan oleh sudut geser dalam dan kemiringan bidang luncurnya, tinggi balok dan lebar balok terletak pada bidang miring.


Namun demikian, seringkali tipe longsoran yang ada merupakan gabungan dari beberapa longsoran utama sehingga seakan-akan membentuk suatu tipe longsoran yang tidak beraturan (raveling failure) atau seringkali disebut sebagai tipe longsoran kompleks.

Thursday 31 October 2013

Posted by ihsan On 08:15
Secara umum, bidang diskontinu merupakan bidang yang memisahkan massa batuan menjadi bagian yang terpisah. Menurut Priest (1993) dalam Sitohang (2008), pengertian bidang diskontinu adalah setiap bidang lemah yang terjadi pada bagian yang memiliki kuat tarik paling lemah dalam batuan. Menurut Gabrielsen (1990) dalam Sitohang (2008), keterjadian bidang diskontinu tidak terlepas dan masalah perubahaan stress (tegangan), temperatur, strain (regangan), mineralisasi dan rekristalisasi yang terjadi pada massa batuan dalam waktu yang panjang.

Menurut Hencher (1987) struktur geologi dan diskontinuitas pada batuan merupakan bidang-bidang lemah dan jalur perembesan airtanah. Keberadaan struktur geologi dan diskontinuitas akan mengurangi tingkat kekuatan geser batuan dan implikasi utamanya adalah meningkatkan peluang terjadinya longsor. Dengan munculnya bidang lemah tersebut, maka batuan yang tadinya utuh akan berubah menjadi massa batuan dengan kekuatan yang jauh lebih kecil dari sebelumnya. Seiain itu, beban yang diterima oleh massa batuan juga akan diteruskan secara anisotrop ke sekitarnya, sehingga dengan demikian tingkat kestabilan lereng juga akan menurun. Menurut Hencher (1987), struktur geologi dan diskontinuitas pada batuan yang berhubungan dengan geoteknik pada kestabilan lereng adalah: kekar, sesar, batas litologi dan bidang perlapisan, serpihan dan orientasi mineral pada batuan metamorf. 

Beberapa jenis bidang diskontinu yang digolongkan berdasarkan ukuran dan komposisinya adalah sebagai berikut: 

  1. Fault (patahan) adalah bidang diskontinu yang secara jelas memperlihatkan tanda-tanda bidang tersebut mengalami pergerakan. Tanda-tanda tersebut diantaranya adalah adanya zona hancuran maupun slicken sided atau jejak yang terdapat di sepanjang bidang fault. Fault dikenal sebagai weakness zone karena akan memberikan pengaruh pada kestabilan massa batuan dalam wilayah yang luas. 
  2. Joint (kekar). Bidang diskontinu yang telah pecah namun tidak mengalami pergerakan atau walaupun bergerak, pergerakan tersebut sangat sedikit sehingga bisa diabaikan. Joint merupakan jenis bidang diskontinu yang paling sering hadir dalam batuan.
  3. Bedding (bidang pelapisan). Bedding terdapat pada permukaan batuan yang mengalami perubahan ukuran dan orientasi butir dari batuan tersebut serta perubahan mineralogi yang terjadi selama proses pembentukan batuan sedimen. 
  4. Fracture dan crack. Fracture diartikan sebagai bidang diskontinu yang pecah tidak paralel dengan struktur lain yang tampak pada batuan. Beberapa rock mechanic engineer menggunakan istilah fracture dan crack untuk menjelaskan pecahan atau crack yang terjadi pada saat pengujian batuan, peledakan dan untuk menjelaskan mekanisme pecahnya batuan brittle. 
  5. Fissure. Ada banyak ahli yang menjelaskan pengertian fissure, salah satunya adalah menurut Fookes dan Denness (1969) dalam Sitohang (2008) yang mendefinisikan fissure sebagai bidang diskontinu yang membagi suatu material utuh tanpa inemisahkannya menjadi bagian terpisah. 

Adanya bidang diskontinu pada batuan akan mempengaruhi banyak hal yang berhubungan dengan aktifitas penambangan. Diantaranya adalah pengaruh terhadap kekuatan dari batuan. Seniakin banyak bidang diskontinu yang memotong massa batuan, semakin kecil pula kekuatan dan batuan tersebut. Bidang-bidang diskontinu yang ada pada massa batuan inilah yang memiliki potensi untuk menyebabkan terjadinya failure pada batuan yang diekskavasi. Selain itu adanya bidang diskontinu juga akan memberikan pengaruh lain dalam sebuah kegiatan pertambangan. Hal ini berkaitan dengan ukuran fragmentasi material yang ditambang. 

Dari semua jenis bidang diskontinu yang ada, joint adalah yang paling sering menjadi pertimbangan. Hal ini disebabkan joint merupakan bidang diskontinu yang telah pecah dan terbuka, sehingga bidang joint merupakan bidang yang lemah. Selain itu joint sering bahkan hampir selalu ada pada suatu massa batuan. Oleh sebab itu, dalam pertimbangan geoteknik, seringkali joint lebih menjadi perhatian dibandingkan jenis bidang diskontinu lainnya. 

Dalam analisis bidang diskontinu terdapat beberapa istilah yang biasa dipakai secara umum. Berikut ini akan dibahas beberapa poin yang berkaitan dengan bidang diskontinu. 


1. Joint Set adalah sejumlah joint yang memiiiki orientasi yang relatif sama, atau sekelompok joint yang paralel. 

2. Spasi Bidang Diskontinu (Joint Spacing). Menurut Priest (1993) ada tiga macam spasi bidang diskontinu. Ketiga macam joint spacing tersebut adalah spasi total (total spacing), spasi set (set/joint set spacing) dan spasi set normal (normal set spacing). 
  • Total spacing, Adalah jarak antar bidang diskontinu dalam suatu lubang bor atau sampling line pada pengamatan di permukaan. 
  • Joint set spacing, Adalah jarak antara bidang diskontinu dalam satu joint set. Jarak diukur di sepanjang lubang bor atau sampling line pada pengamatan di permukaan. 
  • Normal set spacing, Hampir sama dengan set spacing, bedanya pada normal set spacing, jarak yang diukur adalah jarak tegak lurus antara satu bidang diskontinu dengan bidang diskontinu lainnya yang ada dalam satu joint set. 
3. Orientasi Bidang Diskontinu (Joint Orientation). Orientasi bidang diskontinu yaitu kedudukan dari bidang diskontinu yang meliputi arah dan kemiringan bidang. Arab, dan kemiringan dan bidang diskontinu biasanya dinyatakan dalam (Strike/Dip) atau (Dip Direction/Dip). 

  • Strike (jurus), Merupakan arah dari garis horizontal yang terletak pada bidang diskontinu yang miring, Arah ini diukur dari utara searah jarum jam ke arah garis horizontal tersebut. 
  • Dip (kemiringan bidang) , Dip adalah sudut yang diukur dan bidang horizontal ke arah kemiringan bidang diskontinu. 
  • Dip Direction, Dip direction merupakan arah penunjaman dari bidang diskontinu. Dip & Direction (DDR) diukur dari North searah jarum jam ke arah penunjaman tersebut atau sama dengan 90 derajat dari strike searah jarum jam ke arah penunjaman. Dip & Direction (DDR) - Strike + 90° 

Friday 25 October 2013

Posted by ihsan On 02:29

Bahan galian adalah produk dari suatu magma dimana magma merupakan larutan silica panas yang kaya akan elemen-elemen volatile dimana magma tersebut berada jauh di bawah permukaan bumi yang kemudian melalui reaksi panas dari massa padatan.

Macam-macam proses pembentukan bahan galian:

1. Magmatic Concentration
2. Sublimation
3. hydrothermal processes
4. Sedimentation
5. Metasomatism dan Metamorfisma



1. Magmatic Concentration

Terbentuknya bahan galian karena adanya diff dari magma. Magma sebagai cairan panas dan pijar merupakan sumber dari jebakan bijih yang terjadi dari bermacam-macam komponen, dimana dari masing-masing komponen mempunyai daya larut yang berlainan. Pada waktu magma naik ke permukaan bumi, maka temperature dan tekanannya akan turun. Akibatnya terjadi kristalisasi, dimana komponen yang sukar larut akan mengkristal lebih dahulu sebagai terbentuk endapan bijih. 

Proses magmatic concentration dibagi atas: 

I. Early magmatic 

Early magmatic disebabkan karena terjadi langsung dari proses magmatic mineral yang terjadi lebih cepat dari membekunya batuan silikat dan dipisahkan oleh kristalisasi diff. 

a. Dissemination 
Dimana mengkristalnya mineral-mineral terpencar tanpa adanya konsentrasi. 
Contoh: 

1. Cebakan intan di Africa Selatan didapat pada batuan ultrabasa yang disebut kimberlite. Intan ini dianggap sebagai Phenocryst yaitu kristal-kristal besar yang mengkrital dalam magma yang dalam sekali yang kemudian terangkat bersama magma sehingga didapat sebagai kejadian yang sekarang. 

2. Cebakan Corundum dalam batuan nepheline syenit di Ontaria, Canada. 


b. Segregation 
Terjadi dari hasil gravity diff dan akumulasi dari mineral-mineral. Ciri-ciri jebakan ini: 
  • hubungan dengan magma jelas 
  • endapan terdapat dalam lingkungan intrusi 
  • karena adanya gravity dif, maka dalam teksturnya menunjukkan pseudootrasigrafi. 
Contohnya Cebakan chromite di Transvall, Africa Selatan dalam batuan anorthosite yang mempunyai lapisan Cr 20-30 inch. 


c. Injection 

Bijih mineral terkonsentrasi oleh adanya kristalisasoi diff, kemudian massa ini menerobos masuk ke dalam celah-celah batuan sekelilingnya. Hubungan struktur dari jebakan dengan batuan yang diterobosnya jelas sekali menunjukkan adanya injection. 

Ciri-cirinya: 
  • adanya fragmen-fragmen batuan di dalamnya. 
  • Terdapat dike atau badan intrusi yang lain di dalam batuan aslinya. 
  • Terjadi metamorphose pada dinding batuan. 
Contohnya Cebakan Titaniferous magnetite di Cubarland dan Cebakan magnetite di faruna Swedia. 


II. Late magmatic 

Jebakan menghasilkan kristal setelah terbentuk batuan silikat sebagai bentuk sisa magma yang lebih kompleks dan mempunyai corak dengan variasi yang lebih banyak. Magma dari endpan late magmatic mempunyai sifat mobilitas tinggi. Jebakan ore mineral late magmatic terjadi setelah terbentuknya batuan silikat yang menerobos dan bereaksi dan menghasilkan rangkaian reaksi. 

Perubahan ini disebut Deuteric alteration yang terjadi pada akhir kristalisasi dari batuan beku dan cirri-cirinya hampir mirip dengan efek yang dihasilkan proses pneumatolytic atau larutan hydrothermal. 

Jebakan late magmatic terutama berasosiasi dengan batuan beku yang basic dan disebabkan oleh bermacam-macam proses differensiasi, kebanyakan jebakan mgmatic termasuk dalam golongan ini. 

a. Residual Liquid Segregation 

Dalam proses diff magma, residual magma umumnya lebih kaya akan silikat alkali dan uap air. Twetapi pada jenis magma yang basic menjadi kaya oleh Fe dan Ti. Ini adalah magma yang utama yang menghasilkan anorthosite. Plagiocelah mengkristal pertama-tama dan Fe oksida dengan atau tanpa piroxenne mengkristal belakangan. Resudual liquid tadi mungkun menerobos keluar atau bisa juga trepisah dari rongga-rongga kristal dari dapur magma dan mengkristal disitu tanpa perpindahan. 

Beberapa badan bijih yang terjadi cukup besar dan kaya untuk membetuk jebakan yang berharga. Jebakan ini umumnya sejajar dengan struktur primer btuan sekitarnya yang umumnya terdiri dari anhorthsite, norite, gabro atau batuan lain. 

Contohnya Cebakan Titanifereous magnetite di Bushveld complex di Afrika Selatan dan Cebakan platinum di Iron Mountain, Wyo. 

b. Residual Liquid Injection 

Proses ini hampir sama dengan diatas, dimana kumpulan residual liquid yang banyak mengandung Fe oleh adanya tekanan dari luar menyebabkan : 

· Liquid menerobos keluar ke tempat yang tekanannya lebih rendah ke dalam celah atau perlapisan batuan di atasnya. 

· Jika pengumpulan liquid ini tidak terjadi, maka residual liquid yang kaya Fe akan terfilter keluar membentuk late magmatic injection deposite. 

c. Immiscible Liquid Segregation 

Dalam sisa magma yang basic dari Fe-Ni-Cu Sulphide berupa saat pendinginan mereka memisah membentuk bagian yang tidak bisa bercampur mengumpul pada dasar sumber magma membentuk larutan yang terpisah. 

Contoh nya Di Sudbury Ontario, Canada terdapat cebakan bijih Ni dalam bentuk lensa yang teratur pipih disebut Marginal Deposite. Keseluruhan ini terdapat dalam batuan norite brexia dimana mineral-mineralnya adalh pyrrhotite, Chalcopyrite, Petlandite ( bijih Ca dan Ni ), magnetite, pyrote. 

Cebakan Ni, Cu Sulphide di Insizwa Afrika Selatan, mineral Pyrrhotite, Chalcopyrite, Petlandite dalam batuan gabro yang kontak dengan sedimen. Di samping itu terdapat pula au dan Ag. 

d. Immiscible Liquid injection 

Proses ini hampir sama dengan proses Immiscible Liquid Segregation di atas. Dimana pada residu liquid yang kaya akan suphide diselingi gangguan sebelum konsolidasi sehingga menyebabkan liquid menerobos ke dalam celah-celah batuan. Bentuk jebakan tidak teratur atau dapat mirip bentuk dike. 

Contohnya Cebakan di Vlacfontein, Afrika Selatan dan jebakan Nickel di Norwegia.



2. Sublimation 

Proses ini termasuk suatu proses yang kurang begitu penting dalam ganesa bahan galian. Dalam proses sublimasi terjadi penguapan yang langsung dari bentuk badan kemudian diikuti ore deposit/pengendapan dari uap tersebut pada temperatur atau tekanan yang lebih rendah. Proses ini berhubungan erat dengan gejala vulkanis adalah endapan minerqal yang terdapat disekitar gunung api fumarol, dimana kebanyakan tidak cukup besar dikerjakan, yang penting hanya beberapa endapan Sulphide, misalnya di Itali, Jepang, dan Indonesia. Sedang beberapa endapan yang tidak ekonomis seperti endapan cloridha Fe, Cu, Zn: Oksida Fe, Cu, boracic acis dan logam – logam alkali lainnya. 

3. Hyrothermal Processes 

Dalam poses differensiasi magma akan menghasilkan product akhir berupa larutan magma dimana didalamnya dapat terkonsentrasi bermacam-macam meta, disebut juga larutan hydrothermal. Larutan hydrothermal ini mengangkut mineral-mineral yang terkumpul didalam intrusi membentuk cebakan mineral-mineral yang ekonomis. 

Sesuai dengan temperatur pembentukannya dan jarak terhadap intrusi magma, menurut Lingren, proses hidrothermal dapat dibedakan atas tiga macam yaitu : 
  • Proses pada temperatur tinggi (Hypothermal) 
  • Proses pada temperatur intermedia (Misothermal) 
  • Proses pada temperatur rendah (Epithermal) 


Syarat – syarat utama untuk pembentukan hydrothermal deposite. 
  • Adanya larutan mineralisasi yang meralut dan mengankut unsur-unsur mineral. 
  • Adanya celah-celah dalam batuan tempat larutan mengalir ”E” 
  • Adanya tempat pengendapan mineral yang terkadung larutan 
  • Reaksi kimia yang ,emyebabkan pengendapan. 
  • Cukupnya konsentrasi dari unsur-unsur minreal yang diendapkan untuk membentuk cebakan yang ekonomis. 

Celah rekahan dalam batuan tempat bergeraknya larutan mineralisation dibedakan atas : 

I. Original cavities in rock 

Dalam keterangan yang lebih lanjut adalah sebagai berikut : 

a. Rongga asli (rock opening) 

Pore space = antar butir (porosyte) Permeability batuan tergantung pada : 
  • ukuran dan bentuk rongga 
  • jumlah rongga dalam satu bidang 
  • hubungan antar rongga 
b. Struktur kristal adalah rongga antara atom-atom kristal-kristal hanya dapat ditembus dengan cara difus 

c. Visicle blow hole yakni rongga-rongga yang terjadi karena gas yang keluar sewaktu magma membeku (lava basalt dan rhyolite) 

d. Volume flow drains yaitu pipa/saluran yang terjadi karena magma mengalir. 

e. Colling cracks celah yang terjadi sewaktu magma mendingin columnar jointing. 

f. Igneous breccea celah yang terjadi sewaktu magma mendingin columnar jointing. 

g. Bidang perlapisan tempat terbaik bagi proses hydrothermal. 


II. Induced cavities in Rock 

Dalam keterangan yang lebih lanjut adalah sebagai berikut : 

a. Fissures, with or without faulting, Fissure dalam batuan karena terjadi dijasnasi. 

b. Shear-zone cavities, patahan kecil dalam batuan 

c. Cavities due to folding and warping, Rongga karena perlipatan 
  • Saddle reefs 
  • Pitches and flats 
  • Anticlinal and synclinal cracking and slumping 
d. Volcanic pipes, Vulcanic pipe rongga di batuan karena peledakan. 

e. Tectonic breccias, gejala patahan membentuk rongga-rongga antarfragmen. 

f. Collapse breccias, gejala callapse—rongga 

g. Solution caves, 

h. Rock alteration opening, Rongga alterasi batuan yang mengalami alterasi mineral tak stabil akan keluar meninggalkan rongga. 


Proses hydrothermal termasuk salah satu proses uang penting dalam pembentukan bijih, karena bijih-bijih sulphide Fe,Pb,Zn, dan Cu dihasilkan oleh proses ini. 

Dua proses penting dalam proses ini adalah : 

a. Cavity Filling (Pengisian celah batuan oleh larutan mineral) 

Pengendapan dari mineral dalam proses ini akan mengisi celah dalam lorong pada umumnya terjadi dari dinding batuan menuju ke dalam secara berturut-turut. Lubang yang terakhir proses tidak terisi disebut “Vugs”. Cara pengisian celah batuan secara bertahap ini disebut “Crustification”. 

Proses cavity filling telah menghasilkan banyak cebakan mineral yang bentuk dan ukurannya bermacam-macam dan beberapa dari cebakan telah menghasilkan kumpulan meter dari mineral mineral yang besar. 

Cebakan yang terbentuk dari cavity filling dapat digolongkan sebagai berikut: 

1. Fissue Veins 

Bentuk kebanyakan dari tabular pipih atau dua dimensi lebih besar dari dimensi ketiga. Celah tempat mineralisasi terjadi karena gerakan tectonic patahan. Peleburan juga sering terjadi pada bagian yang lemah oleh gaya mineralisasi pada waktu masuknya mineralisator. Bentuk celah batuan yang terjadi tergantung pada batuan induknya, dapat simple atau beraneka macam. 

Fissure (urat) yang terdapat dalam batuan diiisi oleh mineral. Fissure terjadi karena adanya pengaruh tention compression atau gaya tersendiri terhadap batuan, kedudukannnya vertikal atau bersudut 45o-90o. umumnya fissure tidak lurus baik pada strike atau dipnya. 

Contoh : Cebakan Cu di Montana, dikenal sebagai The Range Hill of Earth. Susunan mineral terdiri dari: calcopyrite, enorgite, bornite, chalcosite, tetradite dan covelite. Sedangkan batuan terdiri dari quartz dan quartz monzolite yang dimana terjadi suatu sistem patahan sebagai mineral-mineral. 

2. Shear-zone deposite (sesaran) 

Bentuknya tipis pada daerah sesaran. Ruangan yang terjadi pada sasaran ini tidak cukup untuk pengumpulan non ferrous metal sebagai cebakan ini pengumpulan telah banyak membentuk endapan yang ekonomis dalam endapan primernya. Contoh : cebakan Au dengan Phyrite di Atago New Zealand. 

Umumnya berbentuk tabung atau tabular tetapi membentuk rongga yang tipis dan jarang dalam jumlah yang besar karena kesempatan untuk mengendap kecil-kecil. 

3. Stockworks 

Stockworks adalah jalinan (rangkaian) oro bearing veinless dalam massa batuan. Tiap veinlet lebar beberapa inchi dan panjangnya beberapa feet. Daerah diantara veinlet sendiri diliputi juga oleh bijih mineral “F”. 

Contoh : cebakan Sn di Altenberg yang diliputi rangkaian celah jaringan mineral dengan diameter 3000” yang memotong batuan granite porpyri. Mineral-moneral peserta pyrite,chalcopyrite. Terrahedrite, magnetite, specularite. 

Stockworks veinlet terbentuk dari : 
  • Rekahn pada waktu pendinginan bagian atas atau nagian tepi dari batuan intrusi. 
  • Rekahan yang tidak teratur 

Contoh: 
  • Endapan Sn alluvial di Malaysia dan Indonesia berasal dari desintegrasi stockworks deposite 
  • Cebakan Au dan Ag di Quartz Hill, Gilpin Colorado 

4. Saddle Reef 

Lekukan antiklinal pada batuan sedimen yang berlapis dimana terjadi rongga pada lapisan yang kemudian diisi oleh larutan Hydrotermal lalu membentuk cebakan bahan galian bentuk seperti pelana (saddle). 

Contoh : cebakan Au di Bendigo. Batuan terdiri dari sandstone yang mengandung rekahan yang diisi quartz yang mengandung Au dengan mineral pyrite dan arsenopyrite (mesothermal lindgren). 

5. Ladder Vein 

Menurut Grout, rongga-rongga terjadi karena adanya pengaruh tangensial disamping adanya kontraksi pada waktu pendinginan batuan. Celah-celah ini kemudian diiisi oleh mineral yang dapat membentuk cebakan yang ekonomis. Ladder vein deposite terjadi pada joint/celah yang memotong dike bila dike vertikal maka celah horizontal. 

Contoh: 
  • The Morning Star Gold Bearing Dike di Victoria Australia 
  • Endapan Au di Alaska yang terdapat bersama pyrolusite, tourmalin (apecific catathermal disamping pengaruh albitasan) 
6. Pitches and Flat (Fold Cracks) 

Terjadi karena gaya penurunan sebuah sinklinal, sebagai lapisan sedimen dapat menjadi retak-retak. Dalam retakan dilalui larutan mineralisator sehingga terbentuk cebakan bahan galian. Cebakan ini umumnya pada daerah kapur dan dapat menghasilkan bahan yang ekonomis. 

Contoh: Pitches and flats Pb-Zn deposite di Missisipi Valley (galena) 

7. Breccia Filling Deposits 

Bentuk dan susunan cebakan ii tidak teratur rongga dan yang terjadi di sini dengan breccia berasal dari : 

a). Volcanic breccia deposit. terjadi karena aktivitas eksplosif gunung api dimana menghasilkan kepundan yang vertikal atau synklin yang kemudian diisi oleh breccia. Bahan galian terbentuk diantara fragmen batuan. 

Contoh: 
  • Tambang Au di Bull Domingo dekat Lake City Colorado. 
  • Tambang Cu di Braden Chili dengan kadar 2,3% Cu. Intrusi batuan andesite monzonite/porpyry dalam andesit lava berumur tersier. 
Mineralnya: Chalcopyrite, bornite, pegmatite, siderite, quartz, specularity, tourmaline. 

b). Collapse Breccia Deposite. Cebakan ini terjadi karene adanya guguran dari batuan yang masuk ke dalam larutan yang ada di bawahnya, sehingga terjadi batuan breccia yang mengandung rongga-rongga lapisan terjadinya mineralisasi dalam rongga tersebut. 

Contoh: 
  • Cebakan Cactus pipe di Utah AS. Mengandung Ag, Pb dan Zn 
  • Cebakan Zn di Appalachian AS dalam daerah kapur uang telah berubah menjadi dolomit, terdapat sebagai shpalerite dengan calsite yang mengisi batuan tersebut. 
c). Tectonic breccia deposite. Breccia terbentuk oleh adanya patahan sesar dan intrusi atau gaya-gaya tectonic lain sehingga didapatkan bermacam-macam bentuk breccia. 

Contohnya, cebakan Pb dan Zn di Arkansas dalam bentuk mineral sphalerite yang terjadi bersama-sama scondary chert/dolomite yang diselingi dengan quartz. Endapan ini terdapat dalam batu kapur orthovisium. 

8. Solution Cavity Filling 

Umumnya terjadi pada daerah kapur. Karena kerja dari air permukaan kapur yang mengandung CO2 sehingga melarutkan lapisan kapur yang terletak sebelah ata dari permukaan air tanah. Dalam rongga dapat terbentuk mineralisasi sehingga pengisian di samping dan seterusnya terjadi pelebaran pada rongga-rongga tersebut. Cebakan yang terjadi disebut ”Cave deposite”. 

Contoh:nya, Gua-gua yang terjadi di Wisconsin dan Illionis, terdapat Zn, Pb ore dan Oksida Cu, Pb, Zn, Vanadium dan logam-logam lainnya. 

9. Poreshace Filling 

Rongga tempat terjadinya bijih adalah pori-pori batuan, umumnya endapan minyak, gas alam dan air. Tetapi mungkin juga terdapat besi-besi. 

Contoh: 

cebakan Cu dalam pori-pori sand stone yang dikenal sebagai Red Bed Ores di Texas, Mexico, Arizona, Colorado dan Utah. 

10. Vesicular Filling 

Terjadi karena gas yang keluar ketika pendinginan yang basalt yang kemudian vesikular ini dapat diisi larutan hydrothermal yang membentuk bahan galian. 

Contohnya, cebakan Cu di Lake Superior yang telah ditambang sejak abad 17. Cu terbesar dalam batuan amydoloid. 


B. Replacement 

Proses yang penting bagi endapan epigenetic atau disebut juga metasomatic replecement mencakup pembentukan mineral pada pada suhu pypothermal, mesothermal dan terutama epithermal. Dalam proses ini terjadi pseudomorphose dengan adanya penggantian mineral, karena bertemunya mineralisator dengan mineral-mineral yang tidak stabil. Tempat mineral yang satu diganti dengan mineral yang lain karena pengaruh difusi dengan adanya gerakan ion-ion dalam larutan yang konsentras`inya berlainan. Pertimbangan replacement tergantung pada sifat-sifat fisik dan kimia dari batuan induk 

Proses replacement dibagi 3, yaitu: 

  1. Dimulai dari celah batuan. Dinding celah yang mula-mula direplace kemudian berlangsung terus-menerus ke dalam sampai pada batuan samping yang merupakan batas proses replacement. Proses ini menghasilkan ”massive ore body”. Contoh: Cebakan bijih Sulphida di Kennecott, Alaska. 
  2. Melalui suatu rekahan yang merupakan center, kemudian menyebar, sehingga dapat menyebabkan high grade ore body yang massive atau tak teratur. 
  3. Secara multiplace center, karena batuan sampingnya mudah diserap oleh larutan mineralisasi sehingga menimbulkan cebakan yang terpencar (dissominated ore). Proses replacement dapat juga terjadi karena adanya mineralisator yang berupa gas, uap, air panas dan pada suhu rendah dengan mineralisasi komponen sederhana. 
Bentuk endapan replacement disebut replacement vein. Dibandingkan dengan fissure vein, pengaruhnya lebih luas dan perubahannya tidak teratur. 

Contoh: Cebakan galena vein di Idaho. Lebar daerah mineralisasi 40”, dip 48o dapat diikuti sedalam 4500”. Kristalisasi terjadi karena intrusi dua batuan monzonite. Umur paefaceus ke dalam formasi fine grade silicated quartzcite. 

Cebakan yang terbentuk dari replacement dapat dibagi atas: 
  • Massive deposite 
  • Replacement Lode deposite 
  • Disseminated deposite


4. Sedimentation 

Endapan sediment adalah endapan yang terbentuk dari proses pengendapan dari berbagai macam mineral yang telah mengalami pelapukan dari batuan asalnya, yang kemudian terakumulasi dan tersedimentasikan pada suatu tempat. 

Endapan sedimentasi dapat dibagi menjadi: 

A. Proses pembentukan endapan residu 

Pada prinsipnya pembentukan endapan residu akan terbentukjika ada sumber, dimana sumber batuan berasal dari batuan yang sifatnya pembawa mineral / unsure seperti Ni, Fe, Cr, Ti, Pt, Co, C, Al ,Cs, unsure tanah jarang dan yang lainya .Bisa juga terbentuk dari mineralisasi primer seperti endapan magmatik awal atau ensdapan magmatik akhir (cromit, nikel, magnetit, titan dan lainya). Sumber untuk pembentukan endapan residu umumnya berasal dari batuan pembawa seperti granit, granodiorit batuan beku ultra basa serta endapan mineralisasi. 

Perbedaan yang paling mendasar dari pembentukan endapan residu dengan endapan magmatik awal, magmatik akhir dan hidrotermal adalah tekanan dan temperature pembentukan, dimana pembentukan endapan ini tidak dipengaruhi oleh tekanan dan temperature yang berasal dari magma. 

Pembentukan endapan residu dipengaruhi oleh gaya-gaya geologi yang bersumber dari luar bumi (eksogen), khususnya pelapukan kimia dan fisika pelapukan akan berlangsung pada seluruh batuan dan endapan mineralisasi yang telah tersingkap dipermukaan bumi, dimana intensitas pelapukannya sangat ditentukan oleh komposisi kimia dari endapan mineralisasi, serta iklim yang yang berlangsung didaerah tersebut, khususnya curah hujan. 

Selain iklim dan komposisi kimia batuan, yang berpengaruh terhadap pelapukan kimia, factor lainnya adalah komposisi fisik batuan, struktur geologi, porositas dan tektonik. 

Hubungan iklim dengan komposisi kimia batuan, dimana untuk iklim tropis dengan curah hujan tinggi, maka pelapukan kimia dan fisik akan maksimal. Pada batuan atau mineralisasi yang bersifat basa – ultrabasa, bila kontak dengan udara atau air hujan akan terjadi pada pelapukan kimia dan fisiknya yang maksimal. Sedangkan batuan yang bersifat asam sampai dengan intermedier bila terjadi kontak dengan udara dan air hujan pelapukan yang terjadi tidak semaksimal seperti batuan yang bersifat basa-ultrabasa. Kondisi ini sesuai dengan reaksi bown’s yang mana batuan yang bersifat basa-ultrabasa terbetuk duluan dan akan melapuk lebih dulu dibandingkan dengan batuan yang mengandung mineral asam–intermedier.air hujan relative melarutkan mineral karena air hujan mengandung CO2 dan sedikit asam dari atmosfir. 

Hubungan sifat fisik batuan, struktur dan tekstur dengan pembentukan endapan residu, bila struktur geologinya rapat (patahan dan rekahan) dan porositas tinggi, maka pelapukan kimia dan fisika akan maksimal, dibandingkan struktur yang jarang dan porositas yang kecil. Hal ini disebabkan air hujan akan terakumulasi baik pada struktur geologi rapat dan porositas yang tinggi. 

Hubungan kondisi tektonik dengan pembentukan endapan residu adalah pada daerah dengan kondisi pengangkatan berangsur, setelah pengangkatan awal yang terletak pada lereng topografi yang tidak kritis, maka hasil pelapukan akan tebal, sebab fluktuasi permukaan air tanah akan berangsur dan membentuk penampang pelapukan akan menebal sampai ratusan meter. 

Pelapukan pada pembentukan endapan residu ini sebagai: 
  • Menghancurkan (Pelapukan Fisik, kimia, dan biologi), memeindahkan dan mengumpulkan. 
  • Mengubah material kurang berharga menjadi material berharga. 
  • Melepaskan mineral aksesoris yang resisten melalui proses desintegrasi mineral batuan disekitarnya. 
Kondisi pelapukan batuan terhadap endapan bijih dan non logam dipengaruhi oleh pH dan eH dari media penyebab dan lingkungannya. Dimana untuk batuan yang tersusun oleh mineral-mineral mafic, Plagioklas basa dan batuan karbonat akan intensif dipengaruhi oleh air hujan yang bersifat asam. Kondisi ini disebabkan oleh pembentukan batuan tersebut, terutam batuan beku ultra basa. Terjadi peda lingkungan basa dan temperature tinggi (1500 C) sedangkan air hujan bersifat asam, sehingga kondisi ini bertolak belakang yang menyebabkan batuan mudah mengalami pelapukan. 

Kehadiran mineral-mineral/unsur-unsur tertentu pada hasil pelapukan berhubungan erat dengan mobilitas mineral-mineral tersebut terhadap proses pelapukan normal. Presentase kehadiran unsure-unsure logam, non logam dan unsure lain dipengaruhi oleh mobilitas dan ketahanan mineral terhadap proses reduksi, oksidasi, karbonisasi, berat jenis serta posisinya terhadap zona pelapukan. Dibawa zona oksidasi maka unsure yang memiliki mobilitas lebih tinggi dan tidak terpengaruh oleh proses oksidasi serta memiliki berat jenis lebih besar akan lebih benyak dijumpai. 

Setelah endapan bijih terbentuk, dan kemudian tersingkap di permukaan, maka akan mengalami pelapukan yaitu pelapukan fisik dan kimia. Jika pelapukan kimia dominant dan proses erosi relative tidak mempengaruhi, maka akan terbentuk endapan residu dibagian atas endapan bijih. Akibat pengaruh pelapukan terhadap endapan bijih, maka akan terbentuk zona pelapukan. Konsentrasi endapan residu, Jika kondisinya ideal maka akan terbentuk penampang lengkap, bila tidak ada bagian yang tererosi. 

Bagian atas dari zona pelapukan endapan bijih/mineralisasi, disebut gossan, yang merupakan bongkah-bongkah mineralisasi. Daerah ini terjadi jika telah mengalami pengangkatan, dilanjutkan proses pelapukan dan erosi. Setelah pembentukan gossen, maka pada bagian bawahnya akan terbentuk zona pelindian atau pencucian, kemudian akumulasi dari bijih –bijih primer yang mengalami proses oksidasi yang kemudian akan membentuk mineral-mineral oksida skunder seperti limonit, hematite atau pun mineral-mineral sulfide lainnya. Zona oksidasi merupakan zona pengayaan mineral-mineral oksida sekunder. 

Setelah pembentukan zona pelindihan dan zona oksidasi, maka selanjutnya adalah proses pelarutan garam-garam dan asam sulfat yang berlangsung dibawah muka air, dimana zona ini merupakan zona sulfidasi atau zona pengkayaan supergene, mineral-mineral yang terbentuk pada zona ini adalah sulfide skunder, mialnya kalkosit(Cu2S). Reaksi-reaksi kimia terhadap mineral-mineral primer yang terkonsentrasi pada endapan bijih akan terjadi pada zona oksidasi dan sulfidasi. 

Akibat adanya proses pelindihan menyebabakan migrasi logam-logam tertentu damapak dari pelarutan mineral-mineral primer sulfide, akan meninggalkan jarak berupa rongga-rongga yang merupakan tempat keberadaan awal mineral – mineral primer. 

Endapan konsentrasi residu, umumnya terjadi terhadap endapan mineral primer, porfir, vein, dessiminated, dan replacement. Beberapa contoh endapan residu antara lain: endapan residu nikel residu besi, residu managan, residu alumunium dan lain-lain. 


B. Pembentukan Endapan Alluvial 

Setelah batuan pembawa unsure mineral terbentuk dan tersingkap, karena pengaruh iklim menyebabakan batuana pembawa tadi mengalami desintegrasi dan dekomposisi, kondisi ini terus berlangsung sejak awal tersingkap hingga hingga keberadaannya saat ini, sehingga akan terbentuk endapan hasil pelapukan. Bila pelapukannya tidak tertransportasi maka akan terbentuk endapan residu, dan tertransportasi membentuk endapan alluvial atau endapan konsentrasi .pada proses pembentukan endapan konsentrasi diawali proses erosi terhadap material sumber yang mkengalami pelapukan dan masih kompak. 

Endapan alluvial adalah endapan hasil pelapukan yang mengalami erosi, tertransportasi dan sedimentasi, yang terakumulasi. Sumber endapan alluvial berasl dari hasil pelapukan daerah sepanjang sungai yang kemudian tererosi dan tertransportasi. Endapan sungai ini akan terakumulasi sejalan dengan berkurangnya gradient kemiringan sungai. Akumulasi endapan sungai ini dapat dijumpai dari hulu, hilir, muara sungai dan sepanjang garis pantai. 

C. Erosi Tertransportasi dan Sedimentasi 

Setelah material sumber endapan mengalami erosi, maka material ini akan tertransportasi oleh media air sepanjang sungai .Bentuk dasar sungai yang tidak rata, sebagai akibat terdapatnya endapan batuan/mineral-mineral yang resisten, akan menyebabkan perubahan kecepatan aliran sungai, perubahan ini akan menyebabka minerl-mineral berat yang awalnya tertransportasi akan mengendap dan terakumulasi pada bagian dasar sungai.mineral-mineral berat yang resisten terhadap perubahan fisik dan kimia ini antara lain: emas, casitrit, kromit, intan platina dll. Perubahan kecepatan aliran sungai ini akan meyebabakan pula pengandapan sediment lain akan bergradasi ke arah atas sesuai dengan berat jenis atau ukuran sediment tersebut. Sedimen yang memiliki berat jenis besar/ukuran besar akan terendapkan terlebih dahulu yang kemudian diikuti oleh sediment yang berat jenis dan ukuran yang lebih ringan. 

Kenampakan ini akan memperlihatkan suatu struktur yang disebut ‘gradede bedding”. 

Pada kondisi tertentu dimana aliran sungai sangat pekat dengan energi yang kuat (arus cepat), maka terjadi endapan yang sangat tidak teratur dan yang akan mengalami pengendapan pertama adalah material yang tertransport terlebih dahulu. 

Pada pengendapan emas skunder, umumnya akan berasosiasi baik dengan endapan alluvial yang berukuran bongkah-bongkah krikil, dan akan dijumpai hingga ’nugget’ dan peletit yang berukuran besar. 

Material yang tertransportasi dan tersedimentasi, terutama mineral-mineral bijih yang keras dan resisten memiliki nilai ekonomis yang tinggi, akan semakin berukuran kecil dan berbentuk membulat sejalan dengan jauhnya jarak transportasi. Mineral-mineral yang tersedimentasi di sepanjang pantai akan memiliki ukuran pasir (1/16 -2 mm) dan bahkan berukuran lanau–lempung. Sedangkan yang berukuran lanau–lempung adalah kasitrit dan bauxite. Endapan–endapan ini sangat dikontrol oleh arus sungai yang masuk ke laut dan pengaruh ombak serta pasang surut sebagai agen sedimentasi. 

Mineral-mineral lain yang terendapkan pada alur sungai seperti emas, intan, kasitrit, platina, kromit, besi, dan lainnya, akan terkonsentrasi pada sungai meandering baik pada bagian luar dan dalam. Endapan ini akan berkembang mengikuti perkembangan alur sungai purba hingga saat ini. 

Contoh endapan aluuvial yang memiliki nilai ekonomis tinggi di Indonesia antara lain: 
  • Intan didaerah Martapura, Kalimantan. 
  • Emas didaerah kalimanatan, Sumatra jawa barat, Sulawesi, NTB dan NTT. 
  • Pasir besi di Jawa Tengah 
  • Kasitrit dipulau Bangka, Bintan, dan Singkep.


5. Contact Metasomatisma dan Metamorfisma

Dalam proses magmatic dimana adanya intrusi dari magma terhadap batuan sampingnya, maka oleh pengaruh kontak dari gas pada temperatur tinggi yang keluar dari magma, akan terjadi dua gejala yang penting. 

Effect gas panas ini menurut Barrel ada dua macam: 

1 Contact Metamorphism. Yaitu effect gas panas dan tekana tanpa diikuti penambahan material baru dari dapur magma. 

2 Contact Metasomism, yaitu effect gas panas diikuti penambahan material dari dapur magma. 

Penambahan pada contact metamorphism menimbulkan cebakan mineral yang penting, kecuali beberapa non metalicl deposite sepertri sillimanite, sedangkan dalam contact metasomisim dapat menghasilkan cebakan mineral yang berharga dan sifatnya lain sama sekali. 



1. Contact Metamorphisim dapat menyebabkan: 
  • Internal effect (endogene), yaitu effect yang terjadi pada batas tepi dari masa intrusi itu sendiri, hal ini terutama mengubah texture dari mineral – mineral pada daerah tepi tersebut. Kemungkinan dapat terjadi pegmatit mineral seperti tourmaline, beryl atau garnet. 
  • External effect (exogene), yaitu effect terhadap batuan yang diterobos oleh massa beku tersebut.

2. Contact metasomism. 

Disebut juga pneumatolitic proses. Dengan material tambahan yang dibawa serta oleh magma dimana oleh reaksi metasomism dengan batuan senntuhan disekelilingnya membentuk mineral-mineral baru pada keadaan temperatur yang tinggi. 

Syarat kondisi untuk terjadi metasomisma kontak : 
  • Type tertentu dari magma (komposisi intermed) grano deorite, biotite, quartz monzonite, manchoniten.
  • magma mengandung Rock Jarming mineral. 
  • kedalam cukup memadai, tidak terlalu dalam, cukup 4000-6500 jaraknya dari permukaan bumi pada temperatur 800 derajat celcius. 
  • bersentuhan dengan batuan yang relatifd seperti CaCo3. 

Gejala metasotisme kontak sering terlihat pada structure batuan seperti lapisan yang miring, retak, celah – celah dan patahan. 

Mineral – mineral yang dihasilkan oleh proses metasotisme kontak antara lain adalah : Magnite, hematite, chalcopyrite, bornite, pyrite, pyrolusite, spalerite, molybdenite, galena, caserite, wolframite, sckiste, graphite, massareno pyrite, mineral – mineral manganis. 

Metasotisme kontak terjadi dalam periode magmatis dimana cairan magma mengalami perubahan pengerutan/ penambahan atau pengantian bahan yang diperlukan oleh gas-gas cairan-cairan panas terbentuk mineral dengan komposisi tertentu. Bila proses ini dominat adalah gas-gas maka proses ”Pneumatolitis”. Bila oleh cairan panas ”Hydrothermal’. Dilihat kontak suatu bhaan intruisi ---- gejala pengaruh magmatis

Thursday 17 October 2013

Posted by ihsan On 07:26
Akuifer merupakan formasi geologi yang jenuh sehingga dapat dijadikan pemasok air dalam jumlah yang ekonomis (jumlahnya cukup untuk suatu keperluan seperti domestik, pertanian, peternakan, industri dan lainnya). Oleh sebab itu formasi ini harus mampu menyimpan dan melewatkan air. Serta suatu unit geologi yang jenuh dan mampu memasok air kepada sumur atau mata air sehingga dapat digunakan sebagai sumber air. Istilah lain adalah water bearing formation (formasi yang mengandung air) atau juga groundwater reservoir (waduk air tanah). Untuk dapat berpungsi sebagai akuifer, suatu batuan haruslah berpori atau berongga yang berhubungan satu sama lain, sehingga dapat menyimpan dan membiarkan air bergerak dari rongga ke rongga (M Akib Abro).

Menurut Hendra Bakti, Air tanah merupakan air yang tersimpan dibawah permukaan tanah dan pergerakannya mengikuti hukum-hukum fluida. Keberadaanya di alam sangat tergantung dari ada tidaknya batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah yang bearti atau dalam hal ini disebut sebagai akuifer secara alami tidak semua batuan dapat bertindak sebagai akuifer mengingat akan sangat bergantung pada ruang antar butiran (pori-pori batuan) dan permeabilitasnya. Tentunya batu pasir atau batuan sedimen berbutir kasar memiliki persyaratan untuk itu, terutama batuan-batuan yang belum terkompakan (unconsolidatet rock), karena itu juga sangat tergantung pada umur batuan. 

Secara umum dalam ilmu hidrogeologi, akifer merupakan suatu batuan/formasi yang mempunyai kemampuan menyimpan dan mengalirkan airtanah dengan jumlah yang berarti (significant). Batuan-batuan yang berumur tua biasanya telah mengalami kompaksi dan sementasi sehingga ruang antar butiran menjadi rapat termampatkan, menyebabkan tidak bisa menampung dan meloloskan air dalam jumlah banyak dan bahkan menjadi kedap air (impermeable). Dengan kata lain permeablitas dan porositasnya kecil demikian juga halnya dengan batuan beku dan batuan metamorfik. Pada zona-zona seperti ini sangat sulit sekali diharapkannya ada air tanah kecuali batuan-batuan tersebut banyak mengandung rekahan (fracture) yang selanjutnya disebut sebagai akuifer rekahan (fracture akuifer) Rekahan dapat disebabkan oleh tiga kemungkinan yaitu :

(1) Pendinganan yang berlangsung pada saat pembentukan batuan, 
(2) erosi batuan dan pelepasan tekanan dari overburden, 
(3) efek struktur regional (flexing and faulting). 

Batuan beku dan metamorfik memilki porositas yang kecil karena kristalnya yang saling interlocking. Kombinasi proses pelapukan (weathering) dan fracturing menyebabkan meningkatnya porositas. Batuan yang memilki rekahan porositasnya akan meningkat 2-5% sedangkan akibat pelapukan porositasnya meningkat 30-60%, akibatnya kemampuan air meresap kedalam batuan menjadi lebih besar. 



A. Jenis Jenis Akuifer 


Berdasarkan litologinya, akuifer dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu: 

1. Akuifer bebas atau akuifer tidak tertekan (Unconfined Aquifer) 

Akuifer bebas atau akuifer tak tertekan adalah air tanah dalam akuifer tertutup lapisan impermeable, dan merupakan akuifer yang mempunyai muka air tanah. Unconfined Aquifer adalah akuifer jenuh air (satured). Lapisan pembatasnya yang merupakan aquitard, hanya pada bagian bawahnya dan tidak ada pembatas aquitard di lapisan atasnya, batas di lapisan atas berupa muka air tanah. Permukaan air tanah di sumur dan air tanah bebas adalah permukaan air bebas, jadi permukaan air tanah bebas adalah batas antara zone yang jenuh dengan air tanah dan zone yang aerosi (tak jenuh) di atas zone yang jenuh. Akuifer jenuh disebut juga sebagai phriatic aquifer, non artesian aquifer atau free aquifer (Wuryantoro, 2007). 

Air tanah ini banyak dimanfaatkan oleh penduduk untuk berbagai keperluan dengan kedalaman sumur umumnya antara 1 – 25 meter. Air tanah bebas masih merupakan sumber utama air bersih bagi sebagian besar penduduk dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemanfaatannya dilakukan dengan cara pembuatan sumur gali dan sumur pantek pada kedalaman kurang dari 20 meter di bawah permukaan, umumnya terdapat pada lapisan pasir, pasir kerikilan, tufa pasiran dan pasir lanauan. Air tanah bebas di dataran aluvial terdapat dalam lapisan pasir, pasir lempungan, pasir kerikilan dan pasir lempungan. 

Mutu air tanah bebas bervariasi dari baik hingga jelek, asin rasa airnya hingga tawar, berwarna keruh hingga jernih. Kesadahannya berkisar antara 8,5 – 16,7, pH sekitar 6,7 – 11,2, sisa kering 353 – 580, sisa pijar 252 – 420, kadar kandungan ion klorida berkisar 25,5 – 6.685 mg/l, SO4 antara 40,5 – 246,9 mg/l. Khususnya untuk keperluan rumah tangga sehari-hari, kandungan air tanah bebas di dataran aluvial terkecuali daerah-daerah sekitar pantai, pemanfaatannya masih dapat dikembangkan. Sedangkan untuk daerah-daerah yang terletak sekitar 1 – 3 km dari garis pantai, penggunaan air tanah bebasnya sangat terbatas sekali disebabkan asin hingga payau rasa airnya. (Anonim3, 2008).
1.  
2. Akuifer tertekan (Confined Aquifer) 

Akuifer tertekan adalah suatu akuifer dimana air tanah terletak di bawah lapisan kedap air (impermeable) dan mempunyai tekanan lebih besar daripada tekanan atmosfer. Air yang mengalir (no flux) pada lapisan pembatasnya, karena confined aquifer merupakan akuifer yang jenuh air yang dibatasi oleh lapisan atas dan bawahnya. 


3. Akuifer bocor (Leakage Aquifer) 

Akuifer bocor dapat didefinisikan suatu akuifer dimana air tanah terkekang di bawah lapisan yang setengah kedap air sehingga akuifer di sini terletak antara akuifer bebas dan akuifer terkekang.





4. Akuifer melayang (Perched Aquifer) 

Akuifer yang disebut akuifer melayang jika di dalam zone aerosi terbentuk sebuah akuifer yang terbentuk di atas lapisan impermeable. Akuifer melayang ini tidak dapat dijadikan sebagai suatu usaha pengembangan air tanah, karena mempunyai variasi permukaan air dan volumenya yang besar.







Sedangkan menurut Kruseman dan deRieder, 1994. Berdasarkan sifat fisik dan kedudukannya dalam kerak bumi, akifer dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu : 

  • Akifer bebas, yaitu akifer tak tertekan (unconfined aquifer) dan merupakan airtanah dangkal (umumnya <20 m), umum dijumpai pada daerah endapan aluvial. Airtanah dangkal adalah airtanah yang paling umum dipergunakan sebagai sumber airbersih oleh penduduk di sekitarnya. 
  • Akifer setengah tertekan, disebut juga akifer bocor (leaky aquifer), merupakan akifer yang ditutupi oleh lapisan akitard (lapisan setengah kedap) di bagian atasnya, dapat dijumpai pada daerah volkanik (daerah batuan tuf). 
  • Akifer tertekan (confined aquifer), yaitu akifer yang terletak di antara lapisan kedap air (akuiklud), umumnya merupakan airtanah dalam (umumnya > 40 m) dan terletak di bawah akifer bebas. Airtanah dalam adalah airtanah yang kualitas dan kuantitasnya lebih baik daripada airtanah dangkal, oleh karenanya umum dipergunakan oleh kalangan industri termasuk di dalamnya kawasan pertambangan (Iskandarsyah, 2008). 

 

Gambar Ilustrasi tiga jenis akuifer menurut kruseman dan deRieder, 1994 



Struktur geologi sangat berpengaruh terhadap arah gerakan air tanah, tipe dan potensi akuifer. Stratigrafi yang tersusun atas beberapa lapisan batuan akan berpengaruh terhadap akuifer, kedalaman dan ketebalan akuifer, serta kedudukan air tanah. Jenis dan umur batuan juga berpengaruh terhadap daya hantar listrik, dan dapat menentukan kualitas air tanah. Pada mulanya air memasuki akuifer melewati daerah tangkapan (recharge area) yang berada lebih tinggi daripada daerah buangan (discharge area). 

Daerah tangkapan biasanya terletak di gunung atau pegunungan dan daerah buangan terletak di daerah pantai. Air tersebut kemudian mengalir kebawah karena pengaruh gaya gravitasi melalui pori-pori akuifer. Air yang berada dibagian bawah akuifer mendapat tekanan yang besar oleh berat air diatasnya, tekanan ini tidak dapat hilang atau berpindah karena akuifer terisolasi oleh akiklud diatas dan dibawahnya, yaitu lapisan yang impermeabel dengan konduktivitas hidrolik sangat kecil sehingga tidak memungkinkan air melewatinya. Jika sumur di bor hingga confined aquifer, maka air akan memancar ke atas melawan gaya gravitasi bahkan hingga mencapai permukaan tanah. Sumur yang airnya memancar keatas karena tekanannya sendiri di sebut sumur artesis (Wuryantoro, 2007).